Kesesatan Ahmadiyah Sudah Seperti Matahari di Siang Bolong

Berawal dengan adanya perdebatan dengan tokoh-tokoh sesat dua minggu setelah keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Munas VIII MUI Pusat termasuk keluarnya fatwa tentang Ahmadiyah dan kesesatan SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), menimbulkan motivasi Ketua Paga Nagari Sumatera Barat Ustaz Ibnu Aqil D. Gani untuk menerbitkan sebuah buku karangannya tentang Ahmadiyah.

Ustaz Ibnu Aqil D. Gani adalah salah seorang pengurus Pondok Pesantren Subulussalam yang beralamat di Panyalai Lubuk Pandan, Sicincin Padang Pariaman, Sumatera Barat yang juga getol berjuang bersama ormas Islam Sumbar lainnya dalam menentang gerakan Kristenisasi di Ranah Minang serta aliran-aliran sesat. Ketika terjadi penculikan, pemerkosaan dan hipnotis terhadap Wawah, seorang muslimah siswi MAN 1 Gunung Panggilun Padang pada 1999 silam, Ustaz Ibnu Aqil D. Gani adalah salah seorang yang aktif “memburu” pelaku aksi Kristenisasi itu.

Dia mendirikan Paga Nagari sebagai upaya membendung berbagai bentuk kejahatan Kristenisasi yang mulanya marak di Sumatera Barat. Paga artinya “pagar” yang diharapkan benar-benar bisa memagari nagari-nagari di Ranah Minang yang mayoritas berpenduduk muslim.

“Semoga buku saya ini benar-benar bermanfaat bagi umat Islam yang ingin mengetahui lebih dalam tentang gerakan Ahmadiyah,” katanya dalam berbincangan dengan SABILI pekan lalu, di Bukittinggi.

Dalam Bab I Pendahuluan bukunya itu, Ustaz Ibnu Aqil D. Gani mengungkapkan bahwa Ahmadiyah adalah suatu kelompok yang dinisbahkan kepada seorang laki-laki India Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir tanggal 15 Februari 1835 dan meninggal dunia 26 Mei 1926. Mirza Ghulam Ahmad mendirikan Ahmadiyah tahun 1889 dan kemudian menyebar ke Indonesia tahun 1925. Meski telah terpecah menjadi beberapa sekte, seperti Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore, eksistensi mereka tetap sama; sebagai pengikut Mirza Ghulam Ahmad yang diakui sebagai sang Nabi dan Rasul Ahmadiyah.

“Kelompok Ahmadiyah Qadiani telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1927, yaitu kira-kira setahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, disusul pecahnya kelompok Ahmadiyah Lahore. Dalam perkembagannya kelompok Lahore lebih pesat dibanding kelompok Qadian,” ujar Ustaz Ibnu Aqil D. Gani.

Pada awalnya, umat Islam Indonesia wellcome terhadap Ahmadiyah. Mereka mengira Ahmadiyah bagian dari gerakan dakwah seperti gerakan dakwah lainnya yang banyak muncul kala itu, bahkan Muhammadiyah pun siap menggandeng dan bekerja sama. Sehingga sebelum ketahuan belangnya, Ahmadiyah telah masuk ke berbagai pelosok Nusantara, misalnya Lombok, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, pulau Jawa dan Sumatera Barat.

Di Sumatera Barat, Ahmadiyah telah masuk sejak tahun 1936. Meski sudah sangat lama, perkembangannya amat terbatas, misalnya mereka hanya bisa membangun 8 masjid dan mushalla di tengah 30.000-an masjid. Dan dari sembilan lokasi keberadaannya, mereka terisolasi dari masyarakat.

“Kesesatan Ahmadiyah sudah seperti matahari di siang bolong. Sudah merupakan ‘dholalin mubin’ atau kesesatan yang nyata. Dan itu dapat diketahui dengan mudah kalau membaca sedikit saja ungkapan-ungkapan pemimpinnya Mirza Ghulam Ahmad,” kata Ustaz Ibnu Aqil D. Gani.

Namun akhir-akhir ini, tambah Ustaz Ibnu Aqil D. Gani, masyarakat kurang informasi dengan keberadaan mereka, sehingga Ahmadiyah dengan mudah dapat menduduki posisi penting di pemerintahan. Generasi hari ini kurang memahami sepak terjang Ahmadiyah, bahkan menganggap mereka bagian dari dakwah. ***


Muhammad Subhan (Sumbar)

sumber:

http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=2

0 Responses to "Kesesatan Ahmadiyah Sudah Seperti Matahari di Siang Bolong"