'Islam tak Butuh NABI PALSU Mirza Ghulam Ahmad'


'Islam tak Butuh Mirza Ghulam Ahmad'imageSebut saja namanya Budi. Pria paruh baya yang tinggal di Desa Manis Lor, Kec Jalaksana, Kab Kuningan, Jawa Barat, ini menjadi anggota Jemaat Ahmadiyah pada 1983. Selama menjadi pengikut Mirza Ghulam Ahmad (MGA), dia mengaku selalu mengalami pergolakan batin.
Sekitar 25 tahun lalu, orang-orang Ahmadiyah mendatanginya, menawarkan bantuan materi. Budi yang sedang terlilit masalah ekonomi tentu saja senang.

Tapi, si pemberi bantuan mensyaratkan masuk Ahmadiyah. Tak begitu memahami hakikat Ahmadiyah, Budi mau saja dibaiat. Tapi, setelah resmi menjadi penganut Ahmadiyah, Budi mulai merasakan kejanggalan. Antara lain, soal adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Budi juga tak bisa lagi shalat di sembarang masjid, karena penganut Ahmadiyah dilarang shalat di belakang imam non-Ahmadi.
Selain itu, Budi juga diharuskan menyetorkan uang pengorbanan sebesar 10 persen dari total penghasilan setiap bulan. Sesuatu yang dinilainya memberatkan. ''Karena miskin, mereka suka 'tidak menganggap' dan sepertinya memandang sebelah mata ke saya,'' kata Budi dengan logat Sunda.

Budi juga minder karena tak mampu membeli 'kavling surga'. Padahal, hanya bila dikubur di tempat itulah, mereka mendapat jaminan masuk surga. Sudah 20 orang yang dikuburkan di sana, setelah membayar jutaan rupiah. Adanya doktrin-doktrin yang tak lazim yang berlawan dengan yang didapatnya selama ini, dan tak leluasa lagi bergaul dengan masyarakat, membuat batin Budi bergolak. 'Hidup saya terasa mengambang, jauh dari ketenangan,'' kata Budi kepada Republika di Manis Lor, beberapa waktu lalu.
Selama bertahun-tahun, Budi mengabaikan pergolakan batinnya, sampai akhirnya dia tak tahan lagi. Awal 2008, dia memutuskan keluar. ''Saya sekarang lebih tenang, tidak dikejar-kejar pengurus Ahmadiyah yang menagih uang pengorbanan. Saya juga bisa shalat Jumat di mana saja.'' Orang seperti Budi tak sedikit. Hasan Mahmud Audah, direktur umum seksi bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah yang berpusat di London, juga keluar dari ajaran Mirzaiyah itu pada 17 Juli 1989.

Padahal, sebelumnya dia adalah seorang mubaligh Ahmadiyah dan pernah menetap lama di Qadian. ''Menurut pendapat saya, Islam itu telah tampak dalam keadaan sempurna dengan Nabi Muhammad SAW dan tidak membutuhkan Mirza Ghulam Ahmad untuk menyempurnakannya,'' katanya dalam bukunya, Al-Ahmadiyyah, Aqa'id Wa Ahdats.

Di buku yang telah diterbitkan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) dengan judul Ahmadiyah; Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman itu, Audah memburaikan isi perut Ahmadiyah. Mulai dari doktrin-doktrinnya, administrasi, sanpai keuangannya.

Soal doktrin-doktrinnya, dia mencantumkan banyaknya wahyu MGA yang kontradiktif. Dia juga menyoroti wahyu-wahyu MGA yang sangat mendukung Inggris--yang saat itu menjajah India, soal kengototan MGA mengawini gadis 17 tahun, dan MGA yang menggunakan ucapan-ucapan berisi caci maki dalam 'wahyu-wahyunya'--termasuk saat merendahkan Nabi Isa.
Selain itu, dia menulis bahwa menjadi penganut Ahmadiyah sangat banyak dituntut mengeluarkan uang. Mulai dari setoran bulanan sebesar enam persen penghasilan, 10-13 persen penghasilan untuk memesan kavling surga, serta sumbangan untuk kegiatan tahunan seperti jalsah salanah. Total ada sekitar 10 item sumbangan yang harus disetorkan kepada pimpinan Ahmadiyah, yang berakhir di Jemaat Ahmadiyah Pusat di London. Audah mengatakan dana itu dalam pengawasan langsung khalifah, dan tak seorang pun mengetahui dikemanakan dana-dana itu.

Jumlah pengikutimageSaat ini, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengklaim penganut Ahmadiyah telah mencapai 150 juta, tersebar di 120 negara. Adapun di Indonesia, jumlah penganutnya 500 ribu. Soal klaim-klaim, Audah menilainya banyak yang kebesaran. Mirza Thahir yang merupakan khalifatul masih IV, dalam wawancaranya dengan Sunday Times, Desember 1989 lalu, kata Audah, menyatakan pengikut Ahmadiyah hanya sekitar 10 juta, tersebar di 80 negara. Jumlah 10 juta itu pun dinilai Audah meragukan.

Dari 80 negara atau 120 negara, Audah menyatakan sebenarnya kebanyakan hanya 1-1.000 orang Ahmadiyah di setiap negara. Di Cina, bisa dihitung dengan jari. Di Mesir, hanya 30-40 orang. Di Inggris yang merupakan pusatnya, hanya 8.000-an orang. Itu pun imigran Pakistan. Negara-negara yang penganut Ahmadiyahnya besar, hanya di Pakistan, Ghana, dan Nigeria. ''Padahal, ajaran ini telah berumur hampir 100 tahun,'' kata Audah. Propaganda-propaganda lewat Muslim Television Ahmadiyyah (MTA) soal besarnya jumlah penganut Ahmadiyah, kata Audah, sebenarnya hanya menipu diri.

Di Indonesia, penganut Ahmadiyah tak diketahui pasti. Yang terbesar terkonsentrasi di dua tempat, yaitu Manis Lor dan Pancor, Lombok Tengah, NTB. Di Manis Lor, Ahmadiyah yang masuk tahun 1954, kini dianut 70 persen dari 4.200 jiwa. Di NTB, jumlah mereka disinyalir hanya beberapa ribu. Di Kampus Mubarak, Parung, Bogor, yang merupakan markas pusat JAI, juga tak banyak orang Ahmadiyah. Saat Republika mengunjungi tempat itu, Ketua RT 03/04, Ismat, mengatakan hanya ada 12 kepala keluarga (KK) di RT 03. Belasan KK lainnya di RT 01. ''Tapi, rumah-rumah mereka sering kosong,'' katanya.

Alhasil, klaim 500 ribu penganut Ahmadiyah di Indonesia memang tanda tanya besar. Seperti markas pusatnya di London, yang ditonjolkan JAI adalah jumlah cabang. Pada 2005, misalnya, JAI mengklaim memiliki 305 cabang di seluruh Indonesia. Saat datang ke Indonesia, Khalifah Mirza Tahir, juga mendatangi Manis Lor, Juni 2000 lalu. Pulang dari Indonesia, Mirza Tahir berkata kepada majalah Al Fadhl International edisi Juli 2000: ''Saya tegaskan kepada kalian bahwa Indonesia pada akhir abad baru ini, akan menjadi negara Ahmadiyah terbesar di dunia ....''

Kata-kata seorang khalifah, bagi warga Ahmadiyah, tak ubahnya separuh wahyu, bahkan wahyu--karena mereka meyakini wahyu tak terputus. Tapi, yang terjadi dalam kenyataan malah sebaliknya. Warga Muslim NTB marah atas adanya penganut ajaran itu dan membuat warga Ahmadiyah terusir. Di Bogor, warga yang gerah telah menutup Kampus Mubarak. Di Manis Lor, sampai saat ini suasananya seperti bara dalam sekam. Di berbagai sudut jalan, tergantung pengumuman anti-Ahmadiyah.
Junaidi, ketua Remaja Masjid Al Huda, Manis Lor, mengatakan warga telah berupaya mengembalikan warga Ahmadiyah kepada Islam. ''Kami sayang kepada mereka karena mereka adalah saudara kami. Kami hanya ingin mereka kembali pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Itu saja,'' katanya.

Sejumlah ulama sebelumnya juga mengajak penganut Ahmadiyah untuk ruju'ilal haq atau kembali kepada kebenaran. Sebelumnya, MUI dan ormas-ormas Islam bersedia membuka pintu untuk membimbing warga Ahmadiyah. Bangsa ini memang tak membutuhkan Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku nabi dan memperjualbelikan kavling surga. lis/osa/run/RioL
Posted by Picasa

Nabi' Pelayan Imperialis, 'Islam' tak Butuh Mirza Ghulam Ahmad


Februari lalu, sebuah surat mampir ke meja Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama (Depag), Nasaruddin Umar. Pengirimnya empat negara sekaligus, di antaranya Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Mereka meminta Ahmadiyah tak dibubarkan. ''Suratnya ditujukan kepada Menteri Agama dan ada tembusannya ke saya,'' ungkap Nasarudin kepada Republika, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Lantas, apa yang akan dilakukan Depag? ''Itu tidak akan mempengaruhi apa-apa. Kita tak mau didikte negara lain.''
Saat surat itu datang. Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) memang sedang memantau 12 poin penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) di seluruh Indonesia. Bila 12 poin tak sesuai kenyataan, Bakorpakem berjanji bertindak tegas.Mengapa negara lain sampai perlu melakukan intervensi? Merujuk fakta sejarah, semuanya menjadi masuk akal. Hubungan Inggris dengan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dan keluarganya memang mesra. 'Nabi' MGA berjasa menyerukan penghapusan jihad saat India dijajah Inggris.
Hasan bin Mahmud Audah, mantan direktur umum Seksi Bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah Pusat di London, menilai hubungan MGA dan Inggris tak ubahnya hubungan seorang pelayan kepada majikannya. Bukan semata hubungan terima kasih seorang Muslim pada orang yang berjasa padanya.
Di Ruhani Khazain hlm 36, MGA menyatakan: ''Tidak samar lagi, atas pemerintah yang diberkahi ini (Britania), saya termasuk dari pelayannya, para penasihatnya, dan para pendoa bagi kebaikannya dari dahulu, dan di setiap waktu aku datang kepadanya dengan hati yang tulus.''
Di Ruhain Khazain hlm 155, MGA menulis: ''Sungguh aku telah menghabiskan kebanyakan umurku dalam mengokohkan dan membantu pemerintahan Inggris. Dan dalam mencegah jihad dan wajib taat kepada pemerintah (Inggris), aku telah mengarang buku-buku, pengumuman-pengumuman, dan brosur-brosur yang apabila dikumpulkan tentu akan memenuhi 50 lemari.''
Tengok pula Ruhani Khazain hlm 28: ''Sungguh telah dibatalkan pada hari ini hukum jihad dengan pedang. Maka tidak ada jihad setelah hari ini. Barang siapa mengangkat senjata kepada orang-orang kafir, maka dia telah menentang Rasulullah... sesungguhnya saya ini adalah Al Masih yang ditunggu-tunggu. Tidak ada jihad dengan senjata setelah kedatanganku ini.''
MGA yang mengaku nabi, rasul, almaasih, almahdi, brahman avatar, krishna, dan titisan nabi-nabi, teryata tunduk belaka di hadapan Ratu Victoria. Audah dalam bukunya Ahmadiyah; Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman : ''Perbuatan tidak bermalu Mirza Ghulam 'sang nabi' merendahkan diri depan Ratu Victoria... tak bisa saya terima, bahkan saat saya masih sebagai seorang Ahmadi sejati.''
Pengabdian pada Inggris itu sudah dilakukan leluhur MGA sejak tahun 1830-an. Saat itu, India yang masih dikuasai Muslim, menghadapi dua kekuatan: Inggris dan kaum Sikh. Dalam perang sabil menghadapi kedua kekuatan itu, keluarga Mirza memihak kaum Sikh dan Inggris.
[Image]
[Image]General Nicholson, True Master of Mirza Ghulam AhmadFakta tersebut diungkap Bashiruddin Mahmud Ahmad, anak MGA yang juga khalifatul masih II dalam bukunya, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad. Leluhur MGA merupakan pemimpin tentara yang membantu Maharaja Ranjit Singh, Jenderal Nicholson, dan Jenderal Ventura.
Dalam bukunya, Bashiruddin tak menjelaskan konteks pemberian bantuan itu. Dia mengungkapkannya layaknya sebuah kehormatan besar bagi keluarganya. Namun fakta sejarah memang tak bisa ditutupi, betapa yang diserang Ranjit Sing, Nicholson, dan Ventura, adalah umat Islam.
''Keuntungan yang utama bagi Inggris karena munculnya Almasih dan Imam Mahdi itu adalah timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam yang tidak bisa dielakkan lagi,'' demikian kesimpulan Abdullah Hasan Alhadar dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah.
Saat masalah pertentangan soal Ahmadiyah mencapai puncaknya di Pakistan dan konstitusi negara itu akhirnya mencantumkan bahwa penganut Ahmadiyah merupakan non-Muslim, terjadilah ketegangan. Buntutnya, kekhalifahan Ahmadiyah yang mirip 'dinasti' itu hengkang dari Pakistan.
Sejak tahun 1985, kekhalifahan tersebut berkedudukan di London, Inggris. Di sana, sejak tahun 1994, Ahmadiyah memiliki sebuah corong untuk menyebarkan ajarannya, yaitu Muslim Television Ahmadiyyah (MTA). Perlu dana luar biasa besar untuk melakukan siaran empat bahasa itu.
Audah yang merupakan mantan orang dalam di markas pusat Ahmadiyah, berkomentar tak mungkin televisi itu dijalankan dengan biaya dari sumbangan orang-orang Ahmadiyah. ''Kami tidak mendapat informasi akurat mengenai identitas orang yang memberi dana proyek itu.'' osa/run/RioL
- http://www.aaiil.org/gfx/pic/mga/mgastand.jpg- http://www.alislam.org/gallery/khalifa2- http://www.irshad.org/exposed/service.php



Sumber : http://www.jatonlink.net/index.php?option=com_content&task=view&id=112&Itemid=1
Posted by Picasa

GANYANG AHMADIYAH

Posted by Picasa

Penipu itu bernama GHULAM SHIT AHMADIYAH

Posted by Picasa

Hancurkan Ahmadiyah SESAT, SEKARANG JUGA

Posted by Picasa

BUBARKAN AHMADIYAH





KEBOHONGAN-KEBOHONGAN ALIRAN SESAT AHMADIYAH

Membongkar Kesesatan Ahmadiyah

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Erros Jafar 21 Jul 2005 - 1:30 am

“Dawam Rahardjo Dibiayai Ahmadiyah”
imageSehari pasca penyerbuan terhadap Pusat Jemaat Ahmadiyah di Parung, Bogor, 15 Juli lalu, Johan Effendi mantan petinggi Depag yang juga anggota resmi Ahmadiyah, mengadakan jumpa pers di PBNU. Jumpa pers yang diliput oleh sebagian besar media teve itu, antara lain dihadiri oleh Dawam Rahardjo, Ulil, Musdah Mulia, dan sebagainya.

Dawam Rahardjo petinggi ormas Muhamamdiyah era Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif, tampil bak pahlawan kesiangan membela Ahmadiyah.

Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya, tidak saja menggelontorkan pembelaan terhadap Ahmadiyah dengan alasan hak asasi manusia, tetapi juga ia mengeluarkan pernyataan yang sangat kampungan, yaitu “… kalau ada gerakan anti Islam, maka saya akan ikut…,” sebagaimana bisa dilihat dari berbagai tayangan media televisi yang menayangkan jumpa pers tersebut.

Selama ini Dawam dijuluki sebagai tokoh Islam, petinggi Muhammadiyah, dan petinggi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Bagaimana mungkin seseorang yang berlabel sangat Islam itu bisa menyatakan akan ikut gerakan anti Islam? Ini menunjukkan bahwa selama ini ia cuma cari makan melalui Islam.

Mengapa Dawam begitu gigih tampil sebagai pembela Ahmadiyah. Pengalaman Hartono Ahmad Jaiz penulis buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia dapat menjelaskan hal ini.

“Ketika saya bersama Haryadi (mantan anggota Jemaat Ahmadiyah), Farid Okbah (Da’i dari Al-Irsyad), dan Abu Yazid (dari Persis) masuk ke kampus Mubarok Parung Bogor saat Thahir Ahmad ada di sana, dengan maksud ingin bertamu mengunjungi salah seorang teman Ahmad Haryadi, kami justru ditangkap. Ketika pihak keamanan Ahmadiyah sedang mengusut teman-teman saya yang bertamu tapi ditangkap ini, saya
berbincang-bincang dengan sebagian dari mereka. Ketika itu, saya tanyakan, kenapa Dawam Rahardjo datang ke London mengundang Thahir Ahmad ke Indonesia?

Dijawab, karena Ahmadiyah membiayai Dawam Rahardjo.”

Pantaslah, di saat ada desakan dari umat Islam sekitar kampus Mubarok Pusat Ahmadiyah agar Ahmadiyah dan kampusnya dibubarkan, maka Dawam Rahardjo menjadi “pahlawan” kesiangan. Dawam mengecam MUI, FPI, dan LPPI. Masih kurang puas, Dawam pun menulis di Koran Indo Pos, berjudul Teror Terhadap Ahmadiyah.Dawam tampak gusar, dengan dalih HAM (Hak asasi manusia) maka dia tudingkan telunjuknya yang sudah menua renta itu dengan berteriak bahwa FPI (Front Pembela Islam) dan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) berada di balik teror itu.

Sebagaimana diketahui, setelah terjadi pengepungan massa umat Islam terhadap Pusat Ahmadiyah di Kampus Mubarok di Parung Bogor Jawa Barat ba’da Jum’at 15 Juli 2005 (8 Jumadil Akhir 1426 H), berakhir dengan keputusan Pemda Bogor untuk menutup pusat aliran sesat Ahmadiyah itu, dan orang-orang Ahmadiyah di dalamnya dievakuasi dengan 4 bus dan 4 truk polisi.

Munas ke-2 MUI tahun 1980 memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah di luar Islam, sesat menyesatkan. Diperkuat pula oleh adanya surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan haji Departemen Agama, agar ulama menjelaskan sesatnya Ahmadiyah.

Ahmadiyah Qadian menyusup dan datang ke Indonesia sejak 1925 –sedangkan Ahmadiyah Lahore hadir empat tahun kemudian (1929) – semula digandeng oleh Muhammadiyah karena dianggap sebagai pembaharu. Namun di tahun 1930-an Muhammadiyah baru menyadari bahwa Ahmadiyah itu bukan pembaharu, maka Muhammadiyah pun tidak lagi menjadikan Ahmadiyah sebagai kawan.

Meskipun sudah sejak tahun 1930 pimpinan Muhammadiyah melalui pidato resminya menyatakan bahwa Ahmadiyah yang selama ini dijadikan teman ternyata bukan teman, namun sampai tahun 2000 masih ada petinggi Muhammadiyah, yaitu Dawam Rahardjo, yang mengatas-namakan Muhammadiyah mengundang Thahir Ahmad (Khalifah IV Ahmadiyah di London) untuk hadir ke Indonesia di masa Presiden Abdurrahman Wahid.

Kedatangan penerus nabi palsu yang diundang oleh orang yang juga memalsu atas nama Muhammadiyah itu disambut pula oleh bekas Ketua Muhammadiyah yang saat itu sedang menjabat sebagai Ketua MPR, Amien Rais. Bahkan, Thahir Ahmad dan Amien Rais sempat berangkulan di Gedung DPR/MPR. Sementara itu yang memalsu atas nama Muhammadiyah, Dawam Rahardjo, mengalungkan bunga kepada penerus nabi palsu Thahir Ahmad di Bandara Cengkareng. Semua itu kemudian disiarkan oleh media Ahmadiyah.

Peristiwa itu mengundang komentar seorang pakar dari Pakistan, Manzhur Ahmad Chinioti Pakistani, penulis buku Keyakinan Al-Qadiani, yang dengan sengaja hadir ke Indonesia dan berpidato di Masjid Al-Azhar Jakarta. Pakar dari Pakistan ini memprotes keras, dan menuntut agar Dawam Rahardjo diadukan ke pengadilan, karena telah mengatas-namakan Muhammadiyah, mengundang penerus nabi palsu ke Indonesia.

Dalam hal membela aliran sesat Ahmadiyah ini, kalangan muda Muhammadiyah pun tak mau ketinggalan kereta. Mereka tergopoh-gopoh mengadakan konperensi pers di kantor Pusat Muhammadiyah untuk membela Ahmadiyah. Sukidi, yang memang kadernya Dawam Rahardjo dan aktivis JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), mengambil kesempatan untuk membela Ahmadiyah.

Kematian yang Menjijikkan

Hartono Ahmad jaiz pernah bertanya kepada Dr. Hasan bin Mahmud Audah, mantan orang kepercayaan Khalifah Ahmadiyah ke-4 Thahir Ahmad, yang sudah kembali ke Islam. “Apakah benar, nabinya orang Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India 15 Februari 1835 dan mati pada 26 Mei 1906, itu matinya di kakus (WC)?”

Kemudian Dr. Hasan bin Mahmud Audah pun menjawab,“Ha…, ha…, haa… itu tidak benar. Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa ke WC. Dia meninggal di tempat tidur. Tetapi berminggu-minggu sebelum matinya dia berak dan kencing di situ. Jadi tempat tidurnya sangat kotor seperti WC. Karena sakitnya itu, sampai-sampai dalam sehari dia kencing seratus kali. Makanya, tanyakanlah kepada orang Ahmadiyah, maukah kamu mati seperti nabimu?”

Dr Hasan bin Mahmud Audah adalah mantan Muballigh Ahmadiyah dulunya dekat dengan Thahir Ahmad (Khalifah Ahmadiyah) yang mukim di London. Pertanyaan di atas diajukan Hartono Ahmad Jaiz seusai berlangsungnya Seminar Nasional tentang Kesesatan Ahmadiyah dan Bahayanya yang diselenggarakan LPPI di Masjid Istiqlal Jakarta, Ahad 11 Agustus 2002.

Selain masalah kematiannya yang menjijikkan, Mirza Ghulam Ahmad menurut Audah punya dua penyakit: jasmani dan akal. Sakit jasmaninya sudah jelas, berminggu-minggu menjelang matinya tak bisa beranjak dari tempat tidur, hingga kencing dan berak di tempat tidurnya.

Adapun sakit akalnya, Mirza Ghulam Ahmad mengaku menjadi Maryam, lalu karena Allah meniupkan ruh kepadanya, maka lahirlah Nabi Isa. Dan yang dimaksud dengan Nabi Isa itu tak lain adalah diri Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri. “Apakah tidak sakit akal itu namanya,” ujar Dr Hasan Audah yang dulunya mempercayai Mirza Ghulam Ahmad, sehingga sempat membeli sertifikatkuburan surga di Rabwa.

Ahmadiyah Jago Berbohong

Tentang propaganda bohong, Ahmadiyah adalah jagonya. Hartono Ahmad Jaiz menyampaikan pengalamannya: “Propagandis Ahmadiyah di depan saya dan 1200 hadirin di Masjid Al-Irsyad Purwokerto, April 2002, masih bisa ngibul (berbohong) dengan mengatakan bahwa banyak raja-raja di Afrika yang masuk ‘Islam’, yaitu masuk Jemaat Ahmadiyah. Hingga seakan-akan orang Ahmadiyah bangga dan berjasa kepada Islam karena bisa ‘mengislamkan’ raja-raja di Afrika.”

Ketika hal itu dikemukakan Hartono kepada Dr Hasan Audah, kontan mantan petinggi Ahmadiyah ini kembali tertawa dan berkata: “Itu bohong besar. Di Afrika, kepala-kepala dusun (desa) memang disebut raja. Jadi hanya tingkat kepala dusun, bukan berarti raja yang sebenarnya. Nah itulah yang dijadikan propaganda. Ahmadiyah memang penuh kebohongan dan propaganda,” tegasnya.

Kalau disimak, keterangan Dr Hasan Audah itu bisa dicocokkan dengan aneka ajaran Ahmadiyah, bahkan slogan-slogannya. Kebohongan memang ada di mana-mana. Di kitab sucinya, Tadzkirah, di sertifikat kuburan surga, bahkan di spanduk-spanduknya pun penuh kebohongan.

Satu contoh kecil, spanduk yang dipasang di berbagai tempat dalam lingkungan Al-Mubarok, sarang Ahmadiyah di Parung Bogor Jawa Barat, waktu kedatangan Khalifah Ahmadiyah Thahir Ahmad, Juni-Juli 2000, masa pemerintahan Gus Dur, adalah slogan Semua Dicintai, Tiada yang Dibenci. Tetapi itu slogan bohong. Buktinya, ketika Ahmad Haryadi mantan propagandis Ahmadiyah bersama Hartono Ahmad Jaiz, Farid Okbah da’i Al-Irsyad, dan Abu Yazid pemuda Persis(Persatuan Islam) dari Bekasi Jawa Barat masuk ke sarang Ahmadiyah di Parung saat ada upacara besar-besaran mendatangkan Khalifah Ahmadiyah IV Thahir Ahmad dari London itu, tiba-tiba seorang tua bekas teman Haryadi membentaknya, “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?!”

Ahmad Haryadi menjawab, “Itu kan ada spanduk, Semua Dicintai, Tiada yang Dibenci.”

“Tidak bisa! Dicintai itu kalau kamu cinta kami. Kamu kan tidak cinta kami!” Ujar lelaki Ahmadiyah keras-keras.

Belum berlanjut perdebatan antara mantan dan aktivis Ahmadiyah itu tahu-tahu Ahmad Haryadi dan kawan-kawan ditangkap oleh kepala keamanan Ahmadiyahyang membawa 25 pemuda keamanan Ahmadiyah malam itu.

Slogan Semua Dicintai, Tiada yang Dibenci itu menurut Dr Hasan Audah, pertama kali diucapkan oleh khalifah sebelum Thahir Ahmad.
Kata-kata itu adalah perkataan yang bertentangan dengan Islam. Karena Islam bersikap Asyidaau ‘alal kuffar ruhamaau bainahum (bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih sayang sesama Muslim).

Bohong dan bertentangan dengan Islam itulah inti ajaran Ahmadiyah. Karenanabinya, Mirza Ghulam Ahmad, adalah seorang pembohong dan pembuat ajaran yang bertentangan dengan Islam.

Pengakuan Palsu Bertahap

Mirza Ghulam Ahmad menyampaikan beberapa pengakuan palsu secara bertahap.

1. Pertama, ia mengaku sebagai mujaddid (pembaru).

2. Kemudian ia mengaku sebagai nabi yang tidak membawa syari’at.

3. Kemudian ia mengaku sebagai nabi dan rasul membawa syari’at, menerima wahyu seperti Al-Qur’an dan menerapkannya kepada dirinya.

4. Setelah itu ia mengikuti cara-cara kebatinan dan zindiq (kufur) dalam ungkapan-ungkapannya. Ia mengikuti cara-cara Baha’i dalam mengaburkan ucapannya.

5. Kemudian ia mulai meniru mu’jizat penutup para nabi, Nabi Muhammad saw.

6. Lalu menjadikan masjidnya sebagai Masjid Al-Aqsha, dan desanya sebagai Makkah Al-Masih.

7. Ia jadikan Lahore sebagai Madinah, dan menara masjidnya diberi nama menara Al-Masih.

8. Ia membangun pemakaman yang diberi nama pemakaman al-jannah, semua yang dimakamkan di sana adalah ahli syurga. (Syaikh Muhammad Yusuf Al-Banuri, ahli Hadits di Karachi Pakistan, dalam kata pengantar buku Manzhur Ahmad Chinioti Pakistani, Keyakinan Al-Qadiani, LPPI, 2002, hal xxii).



Cukuplah jelas apa yang ditegaskan Nabi Muhammadsaw: “Kiamat tidak akan tiba sebelum dibangkikannyat para Dajjal pendusta yang jumlahnya hampir tiga puluh orang. Setiap mereka mendakwakan bahwa dirinya adalah Rasul Allah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Ahmadiyah Mengkafirkan Muslimin

Seorang Muslim yang tidak percaya akan da’wah pengakuan Ghulam Ahmad sebagai “nabi” dan “rasul”, maka orang Muslim itu dikafirkan oleh Mirza Ghulam Ahmad dengan aneka ucapannya dan ucapan pengikutnya. Bahkan ucapan yang dinisbatkan kepada Allah swt dalam Kitab Tadzkirah Wahyu Muqoddas, wahyu suci yang dianggap dari Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad:

1. 1.Sayaquulul ‘aduwwulasta mursalan. Musuh akan berkata, kamu bukanlah (orang yang) diutus (oleh Allah). (Tadzkirah, halaman 402). Lalu perkataan Mirza Ghulam Ahmad:

Seseorang yang tidak beriman kepadaku, ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. (Haqiqat ul-Wahyi, hal. 163).
2. “Sikap orang yang sampai da’wahku kepadanya tapi ia tak mau beriman kepadaku, maka ia kafir. (S.k. al-Fazal, 15 Januari 1935).

3. Basyiruddin, adik Mirza Ghulam Ahmad, berkisah: “Di Lucknow, seseorang menemuiku dan bertanya: “Seperti tersiar di kalangan orang ramai, betulkah anda mengafirkan kaum Muslimin yang tidak menganut agama Ahmadiyah?” Kujawab: “Tak syak lagi, kami memang telah mengafirkan kalian!” Mendengar jawabanku, orang tadi terkejut dan tercengang keheranan.” (Anwar Khilafat, h. 92).

4. Ucapannya lagi: “Barangsiapa mengingkari Ghulam Ahmad sebagai ‘nabi’ dan ‘rasul’ Allah, sesungguhnya ia telah kufur kepada nash Quran. Kami mengafirkan kaum Muslimin karena mereka membeda-bedakan para rasul, mempercayai sebagian dan mengingkari sebagian lainnya. Jadi, mereka itu kuffar!” (S.k. al-Fazal, 26 Juni 1922).

5. Katanya lagi: “Setiap orang yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad, maka dia kafir, keluar dari agama walaupun dia Muslim, walaupun ia sama sekali belum mendengar nama Ghulam Ahmad”. (Ainah Shadaqat, h. 35).

6. Dan Basyir Ahmad meningkahi ucapan abang kandungnya: “….. Setiap orang yang beriman kepada Muhammad tapi tidak beriman kepada Ghulam Ahmad, dia kafir, kafir, tak diragukan lagi kekafirannya”. (Review of Religions,No. 35; Vol. XIV, h. 110).



Lebih Berbahaya dari Bandar Narkoba

Mirza Ghulan Ahmad, selain mengaku nabi, di samping bohong, ia menulis buku dan selebaran untuk mendukung Penjajah Inggris, dan menghapus jihad sampai sebanyak 50 lemari.

Pantaslah kalau Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) yang berpusat di Makkah tahun 1394 H menghukumi aliran Ahmadiyah itu kafir, bukan Islam, dan tak boleh berhaji ke Makkah. Karena memang syarat-syarat sebagai dajjal pendusta dalam diri Mirza pendiri Ahmadiyah ini telah nyata. Tinggal penguasa di negeri-negeri Islam menghadapinya, dengan mencontoh Abu Bakar ra yang telah mengerahkan 10.000 tentara untuk memerangi nabi palsu, Musailamah Al-Kadzdzab, hingga tewas.

Karena nabi palsunya, Mirza Ghulam Ahmad, telah mati dengan dihinakan oleh Allah Swt, maka penguasa kini tinggal melarang ajarannya, membekukan asset-asset pendukungnya, dan membubarkan aktivitasnya. Penguasa adalah pelindung, sebagaimana berkewajiban melindungi masyarakat dari perusakan jasmani misalnya narkoba, perusakan mental misalnya judi, maka perusakan aqidah, penodaan, dan pemalsuan yang dilakukan Ahmadiyah mesti dihentikan, dilarang dan diberantas tuntas.

Membiarkannya, berarti membiarkan kriminalitas meruyak di masyarakat, bahkan bisa diartikan mendukung rusaknya masyarakat. Padahal sudah ada contohnya, negeri jiran, Malaysia telah melarang Ahmadiyah sejak 1975. Sedang MUI (Majelis Ulama Indonesai) pun telah memfatwakan sesatnya Ahmadiyah sejak 1980. Forum Ukhuwah Islamiyah terdiri dari sejumlah Ormas Islam telah mengajukan suratke kejaksaan Agung untuk dilarangnya aliran sesat Ahmadiyah, September 1994.Permohonan yang sama juga dilakukan oleh LPPI pada tahun 1994. Larangan Ahmadiyah oleh beberapa Kejaksaan Negeri (Subang 1976, Selong Lombok Timur 1983, Sungai Penuh 1989, dan Tarakan 1989) serta larangan Ahmadiyah oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara 1984. Jaksa Agung masih menunggu apa lagi? (Abu Qori)